
CIN- Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengaku frustasi akibat investasi pabrik garam di Indonesia Timur tak kunjung terealisasi. Masalah lahan menjadi masalah utamanya.
“Sejak saya jadi Wamen hingga mau berakhir, pembangunan pabrik garam di Nagakeo, NTT oleh PT Cheetam Salt tak kunjung selesai. Frustasi saya,†katanya usai bertemu Presiden Tartarstan di Jakarta, Kamis (2/5/2013).
Alex mengatakan, pihak Cheetam sudah menghabiskan puluhan miliar untuk melakukan observasi dan penelitian.
“Menurut mereka tanah di Nagakeo sudah pas dengan standart yang dibutuhkan untuk membangun industri garam disana,†tambahnya.
Ketika ditanya mengenai ketergantungan industri akan garam impor, Alex mengatakan selama pemerintah tidak bisa menyediakan impor sah-sah saja.
Bedasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) importasi garam terjadi rutin selama 3 bulan pertama tahun ini.
Januari 2013, impor garam terjadi sebesar 156 ribu ton atau US$7,7 juta. Kemudian pada Februari impor meningkat menjadi 192 ribu ton atau US$7,9 juta dan Maret sebesar 116 ribu ton atau US$5,9 juta.
Ada empat negara yang garamnya paling banyak diimpor oleh Indonesia. Impor terbesar dilakukan dari Australia. Di mana dari negeri Kangguru tersebut garam diimpor sebanyak 370 ribu ton atau US$ 17,3 juta.
Selanjutnya adalah India dengan volume impor 94.500 ton atau US$ 3,9 juta. Jerman ikut memberikan andil impor sebesar 76 ton atau US$ 147 ribu.
Di samping itu ada negara tetangga Singapura yang mencatatkan impor garam di dalam negeri. Ada 6 ton garam atau senilai US$ 52 ribu garam dari Singapura.
Selandia Baru mencatatkan nilai impor 120 ton atau US$ 41 ribu dan negara lainnya secara total sebesar 173 ton atau US$ 31 ribu.
Melihat data diatas, Alex meminta kepada semua pemangku kepentingan untuk saling bekerjasama mengatasi impor garam yang terus menurus terjadi.
“BPN tolong dipercepat pembebasan lahannya, dan Pemda diharapkan menyiapkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan ketika pabrik ini berjalan nantinya,†pintanya. (iskandar)