JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Remitansi Buruh Migran tercatat sekitar USD 26 miliar atau sekitar Rp250 triliun sejak 2006.
Sayangnya menurut Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan kepada wartawan, Senin (3/6/2013) di Jakarta, kontribusinya itu tidak berbanding lurus dengan perlindungan dari negara.
Terbukti korban demi korban terus berjatuhan di mana- mana, lantaran perlindungan nyawa para srikandi devisa negara yang mayoritas kaum Hawa (TKW) dinilainya sangat rendah. Ironis.
“Hasil studi di Indonesia, setiap tahunnya buruh migran mengirimkan remitansi lebih dari US$ 6 milliar (hampir Rp60 triliun). Tapi perlindungan buruh mayoritas perempuan itu sangat minim. Tidak berbanding lurus dengan perlindungan diberikan negara kepada Buruh Migran Indonesia, khususnya buruh migran perempuan dan anggota keluarganya. Maka itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah sepantasnya memberikan perlindungan ekstra terhadap buruh migran kita,” tegasnya.
Angka remitansi antara tahun 2006-2010 yang dikirimkan ke Indonesia menurut dia sebanyak 0,98%-1,57% dari Gross Domestic Product (GDP).
Data remittensi ini juga direkap BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindung Tenaga Kerja Indonesia) dan Bank Dunia (World Bank).
Tahun 2006 nilai remittensi dari GDP 1,57%. Tahun 2007 sebesar US$6 miliar, tahun 2008 US$ 6,52 miliar (1,43% dari GDP), tahun 2009 sebesar US$ 6,62 miliar (1,33% dari GDP), tahun 2010 naik menjadi US$ 6,69 miliar (098% dari GDP) dan tahun 2011 turun lagi menjadi US$ 6,11 miliar. Jika diakumulasi dari 2007-2010 menjadi US$ 25,94 miliar.
BNP2TKI juga melansir data terbarunya melalui berbagai media, bahwa dari enam juta Buruh Migran jumlah remitansi atau pengiriman uang ke keluarga masing-masing mencapai total Rp100 triliun/tahun setara US$10,2 miliar.
Sementar itu, Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2010, anggaran perlindungan Buruh Mirgan sebesar Rp16,6 Triliun, sementara untuk Kemnakertrans Rp9,4 Triliun.
Sedangkan anggaran perlindungan Buruh Migran di BNP2TKI meningkat menjadi Rp26 Triliun tahun 2012. Namun lebih rendah dibandingkan dana penempatan TKI mencapai Rp31,5 Triliun.
“Hal ini kembali mempertegas paradigma pemerintah dalam melihat Buruh Migran sebagai komoditas ekonomi. Bukan sebagai warga Negara yang hak-haknya wajib dipenuhi, dilindungi, dan dihormati. Apalagi, anggaran itu banyak habis untuk operasional BNP2TKI (hampir Rp12,5 Triliun),†pungkasnya.
Organisasi Sipil Asia:
Wahidah Rustam, juga mengatakan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Asia yang tergabung dalam Coordination of Action Research on AID and Mobility (CARAM ASIA),telah melakukan studi di delapan Negara asal Buruh Migran, yaitu Bangladesh, Kamboja, Indonesia, India, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Sri Lanka.
Studi ini bertema “Hubungan antara Kontribusi Buruh Migran dalam Pembangunan dengan Alokasi Anggaran Pemerintah untuk Perlindungan Buruh Migranâ€.
Solidaritas Perempuan sebagai salah satu anggota CARAM Asia, terlibat dalam studi ini dengan melihat konteks Buruh Migran Indonesia.
Hasil studi diluncurkan 13 Mei 2013 lalu di Dhaka Bangladesh. Ditemukan fakta bahwa besarnya kontribusi buruh migran di negara asal, tidak disertai oleh perlindungan yang memadai bagi Buruh Migran khususnya buruh migran perempuan. (laks)