JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Ketegangan politik antara Pemerintah Indonesia dan Australia terkait penyadapan intelegen negeri Kanguru, terhadap para pejabat termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan ibu Ani Yudhoyono, belum reda.
Pasalnya hingga saat ini belum ada permohonan maaf secara resmi dari Perdana Menteri Australia Tony Abbot kepada pemerintahan RI, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Hal tersebut berimbas pada kemarahan masyarakat yang menganggap negara Australia telah menginjak- injak harga diri dan kedaulatan Bangsa Indonesia.
Beberapa waktu lalu Presiden SBY dalam konferensi pers secara tegas menyatakan memutuskan sementara kerjasama bilateral sampai ada pernyataan resmi dari Australia.
Maka salah satu imbasnya adalah, penghentian impor daging sapi dari Australia. Padahal, sampai saat ini Australia merupakan negara pengekspor daging sapi terbesar ke Indonesia.
Nah, jika benar usulan sejumlah warga masyarakat agar daging sapi Australia diboikot di Indonesia, maka masyarakat harus siap menerima resiko tingginya harga daging sapi, karena keterbatasan stok sapi di dalam negeri, sementara kebutuhan akan daging semakin meningkat.
Mencoba menanggapi hal itu, CITRAINDONESIA.COM melakukan konfirmasi dengan beberapa warga Desa Serua Indah, Ciputat (Banten).
Sebelumnya warga DKI Jakarta memberikan tanggapan boikot daging sapi Australia (baca edisi Jumat 22/11/2013). Dan sekedar diketahui, Kapal Ocean Drover, milik Australia, membawa 18.000 ekor Sapi hidup menuju Indonesia, diberangkatkan dari Pelabuhan Darwin, Northern Territory, Kamis (21/11/2013).
Berikut pendapatnya:
Tati, ibu rumah tangga menyatakan pasrah dan akan mengonsumsi sumber protein lain seperti ayam atau ikan. “Terserah pemerintah saja. Kalo nanti daging jadi langka dan mahal, masih ada ayam atau ikan yang bisa dimakan, lebih murah kan,” ujar Tati, Sabtu (23/11/2013) petang.
Hal sama juga dikatakan warga lainnya. Yang terpenting bagi mereka bahan pangan utama lainnya tidak ikut-ikutan naik.
“Ga apa-apa deh daging sapi mahal. Yang penting mah masih bisa beli beras. Lauk lain juga masih banyak. Gak harus makan daging sapi. Sayur bayam saja lebih sehat kok, gak kolestrol,” kata Neni sambil tersenyum.
Sementara itu Syapei, Ketua RT Serua Indah, mendukung sikap Presiden SBY memutus kerja sama dengan Australia. Dia juga berharap peternak lokal akan lebih mendapat perhatian pemerintah sehingga ke depan Indonesia tidak impor.
“Saya setuju jika impor daging distop dari Australia. Biar mereka tau rasa- dagingnya gak laku. Pemerintah juga harus tegas. Indonesia harus lepas dari impor, mestinya pemerintah lebih mendukung peternak lokal,” jelas Syafei.
Pada akhirnya, bagaimanapun keputusan pemerintah terhadap Australia, harus dilihat dari berbagai aspek, salah satunya keresahan masyarakat.
Karena pada intinya, masyarakat kecil yang menjadi korban ketegangan politik antara Indonesia dan Australia. (rivan)
Â