JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Nama Bu Ani terseret kasus korupsi gratifikasi dari sejumlah proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (25/8/2014), dengan terdakwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Nama itu disebut Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang dijadikan sebagai saksi dalam persidangan tersebut.
Menurut terpidana kasus pembangunan Wisma Atlet, Palembang, tersebut, Ani sudah mendapat kabar mengenai proyek yang dikerjakan Mindo Rosalina Manullang, mantan direktur pemasaran PT Permai Grup, perusahaan milik Nazar.
“Itu ada SMS (short messege service) soal kasus Universitas Negeri Malang, Rosa (Mindo Rosalina Manulang) bawa-bawa nama Mas Anas. Waktu itu SMS-nya dari Bu Ani,” kata Nazar.
Nazaruddin mengungkapkan, SMS tersebut merupakan teguran terkait dengan tagihan vendor proyek, karena proyek tersebut di daerah Malang.
“Ada proyek Rosa yang katanya punya Anas tidak bayar tagihan vendor di Malang,” ungkapnya.
Nazaruddin mengaku langsung dipanggil Anas, dan sempat dimarahi.
“Gara-gara itu juga saya panggil Rosa,” tandasnya.
Belum jelas siapa nama Bu Ani yang dimaksud Nazar, namun ada dugaan kuat kalau orang yang dimaksud adalah Ibu Ani Yudhoyono, ibu negara.
Nazar juga membeberkan asal harta Anas yang menurutnya berasal dari proyek-proyek di kementerian, termasuk Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans).
“Ada proyek-proyek yang berjalan sejak Mas Anas menjadi (anggota) KPU sampai ketua umum (Partai Demokrat), tapi proyek yang dipakai untuk menjadi ketua umum (melalui kongres Demokrat di Bandung pada 2010) itu dibiayai Kemenakertrans,” katanya.
Proyek-proyek yang dimaksud bos Permai Grup ini adalah pengadaan pesawat di PT Merpati Airlines senilai 200 juta dolar AS, proyek e-KTP yang menghabiskan anggaran Rp5,8 triliun, pembangunan gedung pusat pajak sebesar Rp2,7 triliun, proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalimantan senilai Rp2,3 triliun, pembangunan PLTU Riau sebesar Rp1,3 triliun, dan pembangunan gedung Mahkamah Konstitusi sebesar Rp136 miliar.
Selain itu ada proyek juga pembangunan di Mahkamah Konstitusi yang berdana Rp300 miliar, proyek refinery unit Cilacap senilai Rp937 juta dolar AS, proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral pada 2007-2009 yang beranggaran Rp1,7 triliun, proyek Hambalang sebesar Rp2,5 triliun, dan proyek Wisma Atlet yang berdana Rp198 miliar.
Dari berbagai proyek itu ditarik biaya sebesar 18% dari nilai proyek.
Anas, menurut Nazaruddin, mulai berbisnis di Jakarta dari proyek mangrove di Kementerian Kehutanan.
“Waktu itu mulai jadi besar di sana. Ada orangnya Mas Anas, namanya Reza. Terus komunikasi, sampai terakhir 2007 baru dapat proyek gedung pajak. Tapi waktu dibawa ke Jakarta dijual aset-asetnya,” kata dia.
Anas, menurut dia, memiliki tanah pertambangan di Sulawesi Tenggara maupun dari proyek pengadaan kapal.
Nazaruddin juga mengatakan bahwa Anas memiliki uang 2-3 juta dolar AS yang disimpan di safety box di Singapura atas nama stafnya, Rahmat.
Kantong bisnis Anas lain ada di Kalimantan Timur yaitu dari tangan Khalilur R Abdullah dan Totok.
“Lilur sama Totok adalah kamar bisnis Mas Anas. Saat itu Pak Irsan (Noor) Bupati Kutai Timur, ingin jadi ketua DPP Kaltim, tapi ada persoalan dengan (ketua DPP) yang lama. Maka Pak Irsan minta dibantu supaya tetap jadi ketua DPP. Kita cari-cari Pak Anas, dan ketemu Pak Irsan. Lalu terjadi pertemuan di hotel Sultan, sehingga mas Anas, Lilur, Totok, Isran, sebelumnya sudah mengutaraan untuk minta Rp5 miliar,” ungkap Nazaruddin.
Atas permintaan itu, Isran menyepakati Rp5 miliar. Selanjutnya Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis memberikan cek ke Lilur Rp5 miliar dan cek itu diberikan ke Isran.
“Tambangnya Mas Anas lah. Kan Isran kasihnya ke Mas Anas, bukan ke saya, Lilur, atau Yulianis,” tegas Nazaruddin.
Masih ada uang 1,5 juta dolar AS sisa dari kongres Demokrat untuk membeli rumah Anas di Yogya. Fee lain digunakan untuk membeli tanah di Karawang, Surabaya, tambang dan lainnya.
Anas dalam perkara ini diduga menerima fee antara 7 sampai 20% dari Permai Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk satu unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, satu unit mobil Toyota Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada DPC.
Uang itu katanya juga digunakan untuk biaya operasional dan “entertainment”, biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan tim suksesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya event organizer, siaran langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dari harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar. (raf)
