JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin)Â mengawasi secara parsial produk dikenakan Standard Nasional Indonesia (SNI) Wajib seperti mainan anak- anak.
“Kami mengawasi produk yang ada label SNI, dan bisa terlihat dengan mudah (kasat mata),” ujar Widodo, Dirjen Standardisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) Kemendag, di Jakarta, Senin (14/7/2014).
Label dibaur pada kemasan, setelah melewati tahap pengujian di laboratorium (lab) terakreditasi seperti Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Di mana, hasil pengujian  paling tidak dalam 2 minggu itu akan menentukan apakah produk memenuhi standard atau tidak. Kalau ternyata tidak sesuai, maka produk dimaksud tidak bisa diedarkan di pasaran.
“Normalnya, dua minggu sudah selesai, tetapi kalau terjadi antrian produk untuk pengujian, bisa lama bisa lebih dari dua minggu,” kata Widodo.
Hal ini diakui Widodo menjadi salah satu kendala bagi para pelaku usaha. Mereka maunya proses pengujian sampai terbitnya SNI cepat. Seperti halnya dengan rencana penerapan SNI Wajib untuk produk mainan.
Selain itu Kemendag melihat pelonggaran masa berlaku efektif SNI Wajib mainan anak- anak itu sampai dua kali enam bulan itu sudah tepat. Pelonggaran waktu ini salah satunya karena ketidak-siapan dari proses pengujian lab.
“Ketika mulai diberlakukan, belum semua pelaku usaha punya Surat Petunjuk Penggunaan Tanda (SPPTSNI). Tetapi kami minta kepada pelaku usaha. Ketika SPPTSNI masih dalam proses penerbitan oleh lab, para pengusaha tinggal tunjukan suratnya kepada petugas. Bahwa produk masih dalam proses SPT SNI. Kalau sudah selesai, tunjukan bahwa barang yang diperjual-belikan sudah sesuai standard SNI. Petugas check lagi, apakah memang sudah sesuai. Karena pengawasan dan pembinaan untuk pasar dalam negeri terus berjalan,” jelasnya.
Untuk produk Helm dengan SNI wajib dengan embos (tercetak secara utuh) atau hologram. Kemendag mengakui ada kendala pengawasannya. Lantara produsen helm itu secara umum terbagi tiga kategori yaitu pabrikan, pengrajin dan impor.
Kategori pabrikan hampir sama dengan produk yang dikerjakan Usaha Kecil Menengah (UKM) di beberapa perkampungan industri kecil (PIK). Kemenperin sudah pernah melakukan pendampingan di PIK. Harapannya, mereka (UKM) mengubah pola produksinya dengan standardisasi.
“Kami minta sebelum ada tindakan, (Kemenperin) sudah terlebih dahulu membina,” imbuhnya.
Widodo mengakui bahwa kualitas helm produksi UKM di PIK, jika dilihat dari sisi bentuk tidak kalah dari yang impor. Mereka menghasilkan produk bagus karena berada dalam satu kelompok kerja yang kompak.
“Bentuknya bagus, tapi tidak sesuai standard. Ini (UKM) banyak sekali yang usahanya berskala kecil. Kami sangat dilematis, mereka juga sempat minta dibina oleh Kemenperin. Kami mau ada sinergi agar usaha skala mikro bisa tetap jalan, tetapi perlindungan konsumen tetap terjaga dengan SNI,” pungkasnya. (pemi)