JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Humphrey Djemat, Ketua Umum AAI dan Mantan Juru bicara Satgas TKI, menyangkan kejadian di KJRI, Jeddah, Minggu, tanggal 9 Juni 2013. 12 ribuan TKI yang mengantri mengurus dokumen (Paspor/Pengganti dokumen laksana paspor) mengamuk.
Sebagaimana diketahui, di Arab Saudi diperkirakan ada ± 2 Juta TKI. Berdasarkan catatan yang ada diperkirakan masih ada ±  40 ribuan WNI/TKI yang berstatus over-stay, sehingga keberadaan mereka dianggap illegal untuk berdiam di Arab Saudi.
Pemerintah Indoensia dan Pemeritah Kerajaan Arab Saudi telah bekerja sama dengan baik selama ini untuk memulangkan WNI/TKI yang berstatus over-stay tersebut.
Hal mana terlihat dari pemberangkatan melalui Kapal Laut “KM Labobar Pelni†yang telah mengangkut sebanyak 2351 WNI over-stay keIndonesia. Dan tahun lalu sebanyak hampir ±  17 ribu orang melalui Kapal Udara telah dipulangkan.
Akibatnya orang Indonesia yang tinggal di bawah kolong jembatan “Khandara†di Jeddah yang sempat mempermalukan bangsa dan negara kita telah dibersihkan sehingga tidak ada lagi orang Indonesia yang tinggal di bawah kolong jembatan di Jeddah.
Timbul pertanyaan, mengapa bisa kejadian amuk massa dan pembakaran di KJRI, Jeddah??
Menurut Humphrey Djemat, ada beberapa hal yang terjadi.
- Pada saat ini belum ditempatkan Konjen baru untuk memimpin KJRI, Jeddah. Akibat tidak adanya orang nomor 1 di KJRI, Jeddah, maka timbul kesulitan untuk orang yang bisa in-charge (memimpin) dan memberikan petunjuk yang kuat kepada seluruh staf yang ada serta mewakili Pemerintah kita berhadapan dengan Pemerintah Arab Saudi (Kemenlu KSA) dalam penanganan pengurusan dokumen.
- Berdasarkan pengalaman sebelumnya, pengurusan dokumen tidak dilakukan di KJRI tetapi gedung lain di luar KJRI. Hal ini untuk mengantisipasi banyaknya yang mengantri untuk mengurus dokumen. Disamping itu, apabila dilakukan di luar gedung KJRI, maka tanggung jawab keamanan sepenuhnya berada di pihak Polisi Pemerintah KSA. Tentu ini untuk menjaga kehormatan gedung KJRI sebagai lambang negara. Kejadian ini membuat citra Negara/Pemerintah tidak baik di mata semua pihak termasuk dunia internasional.
- Ternyata tenaga staf KJRI banyak yang masih baru ditempatkan di Jeddah, masih muda dan kurang pengalaman. Ini berbeda dengan staf lama yang memang sudah berpengalaman dan lebih profesional. Akibatnya, staf KJRI yang ada saat ini tidak bisa melihat dan mengantisipasi potensi adanya amuk massa tersebut. Sudah menjadi rahasia umum banyak calo yang berkeliaran menawarkan jasa mempermudah urusan dokumen dengan imbalan sebesar 300 – 400 riyal. Pada saat mereka tidak bisa memenuhi janjinya, calo-calo tersebut menyalahkan pihak KJRI yang bekerja lamban dan tidak profesional. Akibatnya massa mempercayai omongan para calo tersebut dan membuat mereka menjadi marah terhdap KJRI.
- Seharusnya, pihak KJRI melakukan perundingan dengan pihak jawazat (imigrasi Pemerintah KSA) agar batas waktu bisa lebih diperpanjang dari tanggal 3 Juli, mengingat ada proses screening dari pihak KSA untuk menentukan apakah orang yang mengajukan permohonan dokumen terlibat kriminal atau tidak. Disamping itu pihak KJRI perlu meneliti apakah orang tersebut warga negaraIndonesiaatau tidak. Jadi diperlukan waktu yang cukup memadai untuk melakukan proses.
Menurut Mantan Juru Bicara Satgas tersebut, kesalahan ada di pihak Kemenlu yang tidak cukup bergerak cepat untuk menentukan Konjen baru agar segera in-charge di KJRI. Seharusnya Kemenlu memberikan tenaga tambahan baru dan juga memberikan pengarahan yang jelas sesuai pengalaman sebelumnya untuk mengatasi banyaknya WNI/TKI dengan status over-stay mengajukan permohonan dokumen untuk balik ke Indonesia.
Nasi telah menjadi bubur, kejadian telah terjadi, sebaiknya Kemenlu bergerak cepat sesuai dengan saran-saran di atas agar tidak semakin mempermalukan Pemerintah dan Negara kita. (rilis)