JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Setiap tanggal 28 Juli dunia memperingati Hari Hepatitis Internasional. Perjalanan penanganan penyakit ini di Indonesia dapat dikatakan masih sangat hijau.
‘Karena Sub Direktorat Hepatitis ada di Kementerian Kesehatan baru sejak tahun 2015’, ujar Mengapa dikatakan begitu oleh Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Edo Agustian, tertulis.
Hal tersebut tidak lepas dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Persatuan Bangsa – Bangsa (PBB) atau lebih dikenal dengan istilah ‘Sustainable Development Goals’ (SDGs) yang diadopsi oleh semua negara pada tahun 2015 dan juga tahun 2016 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengadopsi strategi sector kesehatan Global untuk hepatitis virus 2016 – 2021, yang menetapkan tujuan untuk mengeliminasi virus hepatitis sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030.
- Kemenkes Luncurkan Panduan Tatalaksana Hepatitis C
- 71 Juta Korban, Aktivis : Obat Hepatitis C Harus Terdaftar di BPOM
- Obat Hepatitis C Jadi Kebutuhan Mendesak Masyarakat, Namun PKNI Nilai Pemerintah Lalai
Sembilan (9) dari 10 orang yang hidup dengan hepatitis virus tidak menyadari bahwa mereka memiliki virus hepatitis – itu lebih dari 290 juta orang di seluruh dunia. Hanya 20% orang yang hidup dengan hepatitis C mengetahui kondisi mereka dan kurang dari 10% orang yang hidup dengan hepatitis B.
Sementara di Indonesia diperkirakan 2,5 juta penduduk terinfeksi virus Hepatitis C. Tujuan yang ingin dicapai adalah 30% orang yang terinfeksi untuk mengetahui status mereka pada tahun 2020 dan 90% pada tahun 2030 (WHO, 2016).
‘Jadi, tanpa menemukan ‘jutaan angka yang hilang’ ini, meningkatkan pengetahuan masyarakat dan meningkatkan kesadaran untuk memeriksakan diri, menyediakan akses terhadap tes yang mudah serta terjangkau secara finansial tujuan dari SDGs akan mustahil dapat dicapai’, jelas Edo Agustian.
Pada 19 Oktober 2017 lalu, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan izin akses obat DAA (Direct Acting-Antiviral) untuk dapat diakses secara umum. Pengobatan dengan DAA ini merupakan temuan paling mutakhir yang dapat memberikan harapan hidup yang tinggi bagi mereka yang hidup dengan virus Hepatitis C, kata dr. Sedya Dwisangka, Kasubdit Hepatitis Kementerian Kesehatan.
Obat DAA yang tersedia di Indonesia saat ini menurutnya adalah Sofosbuvir sebagai obat utama. Simeprevir dan Daclatasvir yang nerupakan obat pelengkap Sofosbuvir agar pengobatan terhadap Hepatitis C dapat efektif juga sudah tersedia di Indonesia.
Sementara itu, menurut dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes, Direktur Pencegahan dan Penyakit Menular Langsung, Kemenkes RI: ‘Daclatasvir jauh lebih efektif dan efisien dibanding obat lain karena dapat digunakan untuk semua tipe virus Hepatitis C, tingkat kesembuhan yang tinggi diatas 96%, lebih sedikit efek samping, durasi pengobatan yang singkat yaitu 3-6 bulan (tergantung kondisi), serta dapat digunakan oleh pasien ko-infeksi HIV yang sudah ikut terapi karena tidak ada kontra indikasi dengan obat anti-retroviral HIV yang tersedia di Indonesia’.
Sayangnya, sampai saat ini harga Sofosbuvir di Indonesia masih sepuluh kali lebih mahal daripada harga pembelian pemerintah di India.
‘Data September 2017, harga Sofosbuvir di India hanya $14 atau sekitar Rp200.000, sementara di Indonesia harganya masih berada dikisaran Rp2.200.000’, tegasnya.
Harga Sofosbuvir yang lebih terjangkau seperti referensi harga di India tentu dapat meningkatkan pengobatan Hepatitis C di Indonesia. Selain harga, pedoman dan tata cara dalam penanganan Hepatitis C juga sangat penting diperhatikan.
‘Pedoman dan tata cara serta jalur logistik untuk pasien harus disederhanakan’, ujar Caroline Thomas, manajer program PKNI menimpali saat presentasinya di International AIDS Conference2018 di Amsterdam. (mulia)