JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Indonesia hari ini memperingati 20 tahun Lengsernya Presiden Soeharto, dipaksa turun oleh kaum reformis yang mengakibatkan jatuhnya puluhan korban jiwa, seperti pada peristiwa Trisaksi dan tragedi Semanggi.
‘Ini peristiwa bersajarah bagi kita Bangsa Indonesia, peralihan dari rezim otoriter, koruptif kepada rezim sipil sociates. Tapi kan sekarang korupsi juga meraja lela. Malah lebih parah dari korupsi rezim orba. Dan ini sangat kita sayangkan sehingga cita- cita reformasi kita jadi ternoda’, ujar Priyanto, seorang aktivis anti korupsi di Jakarta, Senin (21/5/2018).
- Korupsi Singapura Terendah di Dunia
- Perawat Ungkap Politik Busuk Setya Novanto
- Mengenang ‘Incognito Pak Harto’
Menurutnya, hari ini pada 21 Mei 1998, harus menjadi perenungan bagi seluruh Bangsa Indonesia, untuk mengubah pola hidup berbangsa dan bernegara yang bersih. Nah, kasus Setya Novanto dalam beleid eKTP ini juga jadi perhatian kita semua. Cukuplah cita- cita reformasi ini ternoda. Jangan lagi, stop korupsi, stop menzalimi rakyat, ayo kita tatap masa depan. Bahwa kita semua komponen bangsa harus sepakat bahwa korupsi itu kejahatan ordinari yang setara dengan kejahatan narkoba. Kita harus lawan para koruptor, itu tidak beradab’, tandasnya mengingatkan.
Sebelumnya, Presiden Soeharto lengser keprabon setelah berkuasa 32 tahun, terhitung sejak dia mendapat ‘mandat’ Surat Perintah 11 Maret 1966. Pidato pengunduran diri Soeharto dibacakan di Istana Merdeka, sekitar pukul 09.00 WIB didampingi Wapres BJ Habibie dan lainnya.
Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah ini diambil setelah melihat ‘perkembangan situasi nasional’ saat itu. Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnya Soeharto.
‘Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998′, ujar Soeharto, dilansir dari buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie. (kompas/adams/ling)