JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar meminta KPK untuk mem-follow up laporan dugaan korupsi di Direktorat Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Menurutnya, saat ini Indonesia sangat lemah dalam hal pengawasan dan monitoring TKI di luar negeri karena kurangnya infrastuktur tehnologi yang dimiliki.
“Degan adanya dugaan korupsi ini, nasib TKI kita di luar negeri tidak akan berubah menjadi lebih baik nantinya, karena proses pembenahan monitoring ini terhambat,†katanya kepada CIN, Senin (20/5/2013).
Oleh karena itu sambungnya, Cak Imin sebagai penanggungjawab pengguna anggaran harus menjelaskan ke publik atas masalah ini. “Cak Imin harus mengungkap masalah ini dan menindak pegawai yg terlibat. Cak imin harus melanjutkan program monitoring TKI supaya TKI kita bisa lebih terlindungi dan aman,†pintanya.
Sebelumnya, Himpunan Pengusaha Jasa TKI mendesak KPK mengusut dugaan penyimpangaan pengadaan komputer pada proyek Pengadaan Sistem Pengawasan dan Pengelolaan Data Proteksi TKI tahun 2012 di Ditjen Binapenta Kemenakertrans.
Ketua Bidang Etik Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki), Yunus M Yamani di Jakarta mengatakan, berdasarkan data yang diperoleh terdapat barang yang belum sesuai dengan spesifikasi seperti yang tertera dalam Surat Perintah Mulai Kerja No. SPMK.2535/PTKLN-PPK/X/2012 tanggal 19 Oktober 2012.
“Pemasangan ‘hardware’ dan ‘software’ pada negara Malaysia dan Saudi Arabia (Jeddah) belum dilaksanakan,†kata Yunus mengutip Berita Acara Pemeriksaan Barang Pengadaan Sistem Pengawasan dan Pengelohan Data Proteksi TKI tahun Anggaran 2012 di Ditjen Binapenta Kemenakertrans itu.
BPK juga sudah memeriksa dan membuat Konsep Temuan Pemeriksan bernomer 12/Tim-LK/Kemenakertrans/04/2013 bertanggal 26 April 2013 yang harus ditindak lanjuti paling lambat 1 Mei 2013.
Pada konsep temuan itu disebutkan bahwa proses pengadaan tidak sesuai dengan ketentuan, spesifikasi teknis pada dokumen lelang mengarah pada suatu merk/produk tertentu. Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) tidak sesuai ketentuan.
BPK juga menilai pertanggungjawaban keuangan tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp7,8 miliar. Yunus mengutip hasil pemeriksaan BPK mengungkapkan pemeriksaan lebih lanjut atas pertanggungjawaban keuangan atas pengadaan sistem tersebut menemukan adanya kesalahan perhitungan RAB dan terdapat pekerjaan yang tidak dilaksanakan sebesar Rp7,8 miliar dengan sejumlah rinciannya.
Kondisi itu juga tidak sesuai dengan Keppres No.42/2002 pasal 12 ayat 2 dan Keppres No.54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Akibatnya, kata Yunus masih mengutip hasil pemeriksaan BPK, terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp7,147 miliar karena Pejabat Pembuat Komitmen lalai menyusun spesifikasi teknis dan HPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan lalai dalam melakukan pengendalian pelaksanaan pekerjaan.
Pengadaan komputer pada proyek Pengadaan Sistem Pengawasan dan Pengelolaan Data Proteksi TKI tahun 2012 berdasarkan surat perjanjian (kontrak) bertanggal 19 Oktober 2012 dilaksanakan dalam 60 hari kalender terhitung sejak 19 Oktober 2012 dan berakhir pada 15 Desember 2012.
Harga borongan pekerjaan sebesar Rp19,7 miliar yang dibebankan pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Direktorat Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri 2012, dan sudah termasuk pajak yang harus dibayarkan oleh penyedia sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lebih dari itu semua, Yunus menyoroti bahwa pengadaan barang di delapan provinsi plus Jeddah dan Kuala Lumpur itu membuang-buang anggaran karena BNP2TKI sudah mengadakan sistem yang kurang lebih sama dengan cakupan lebih luas.
“Inilah yang kita khawatirkan. Selama masih ada dua lembaga yang mengatur TKI dan tidak jelas peran keduanya maka pemborosan anggaran untuk pengadaan kegiatan yang sama akan terus terjadi,†kata Yunus. (iskandar)