JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Menjadi seorang sarjana di Indonesia membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Puluhan bahkan ratusan juta harus dipersiapkan orang tua agar anaknya bertitel sarjana.
Bagaimana dengan orang tuanya yang tidak mampu?, si anak diharuskan berjibaku dengan bekerja paruh waktu untuk bisa membayar kuliahnya.
Beririt-irit dan menahan keinginan harus dilalui demi mendapatkan status kaum intelek tersebut.
Sudah selesaikah sampai disitu perjuangannya? Hmmm ternyata tembok karam masih kokoh menghadang. Setelah lulus seorang sarjana harus menunggu 1,2 bahkan 3 tahun untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai bidangnnya.
Bagaimana tidak, lowongan pekerjaan swasta sangat sulit didapat karena kompetisi yang begitu ketat. Saling sikut dan budaya “wani piro” menghatui calon pelamar untuk mendapatkan pekerjaan.
Kalaupun ada celah untuk mengabdi bagi negara, nusa dan bangsa perlu modal yang tidak sedikit. Sudah menjadi rahasia umum agar menjadi bagian di pemerintahan dibutuhkan ekstra perjuangan selain doa dan mukzijat.
Pemerintah hanya mampu menjadi perantara lowongan pekerjaan, swasta hanya mau pekerja yang siap pakai, mau dibawa kemana anak bangsa ini.
Disatu sisi Pemerintah mencoba mengatasi masalah tersebut dengan mencetak enterpreneurship (wirausahawan) melaui pelatihan dan pemberian modal. Namun, target penciptaannya masih terbilang kecil hanya 10 ribu pertahun untuk seluruh Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga bulan Febuari 2013 jumlah pengangguran sarjana atau lulusan universitas mencapai 360 ribu orang atau 5,04 persen dari total pengangguran yang mencapai 7,2 juta orang. (iskandar)