JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Panitia Kerja (Panja) Pelindo II DPR, Rabu (16/9/2015), menggelar rapat dengar pendapat dengan jajaran direksi PT Pelindo II (Persero) terkait tiga permasalahan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu.
“Ada tiga masalah yang akan dibahas, yakni soal pengadaan mobile crane, perpanjangan tender pengelolaan Jakarta International Container Terminal (JICT) dan etika pejabat perusahaan jasa kepelabuhanan itu,”  jelas Wakil Ketua Komisi VI DPR Heri Gunawan kepada wartawan di Gedung Parlemen, Jakarta.
Ia menjelaskan, Komisi VI ‘menghandle’ persoalan-persoalan ini karena masuk dalam ranah manajemen korporasi.
Menurut dia, pengadaan mobile crane oleh Pelindo II diduga menyalahi aturan. Begitupula dengan perpanjangan konsesi pengelolaan JICT kepada Hutchison Port Holding (HPH), perusahaan asal Hongkong.
“Di Pasal 344 UU No 17 Tahun 2008 disebutkan, tiga tahun setelah UU berlaku, maka harus diterapkan. Jadi 2011 akan berlaku. Seharusnya Pelindo menggunakan prosedur UU tersebut untuk meminta hak konsesi. Ironinya, nilai kontrak yang diteken Pelindo II dengan Hutchison Port tersebut jauh lebih kecil dibanding konsesi pertama. Padahal produktivitas JICT naik terus,” kata dia.
Persoalan etika pejabat Pelindo II, menurut dia, juga penting dibahas karena menyangkut produktivitas perusahaan yang belakangan cenderung menurun.
“RJ Lino (Dirut Pelindo II) tidak menciptakan iklim kondusif yang mengakibatkan penurunan produktivitas korporasi. Karena sejak kasus ini, ada beberapa karyawan yang dimutasi,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Panja dibentuk menyusul pencopotan Komjen Pol Budi Waseso dari jabatan Kepala Bareskrim Polri karena menangani kasus dugaan korupsi pengadaan 10 mobile crane oleh Pelindo II. Sebelum dicopot, Budi sempat ditelepon Wapres Jusuf Kalla dan dituding telah membuat kegaduhan, sehingga kuat dugaan bahwa istana telah mengintervensi kasus korupsi ini.
Sebelumnya, pegawai di JICT berdemonstrasi karena memprotes tindakan RJ Lino memperpanjang konsesi pengelolaan JICT kepada HPH, karena diduga tidak sesuai prosedur dan aturan perundang-undangan. (raf)